Media

Rela Tidur Beralaskan Tikar Demi Kejurnas

Bagi Kontingen Maluku, Kejurnas Panjat Tebing XVII bukan soal pertandingan semata. Lebih dari itu, mengikuti Kejurnas adalah soal perjuangan dan totalitas.

Maluku mengirimkan 9 atlet yang terdiri dari 4 putra dan 5 putri. Mereka berangkat ke Solo dengan uang pribadi dan sebagian donasi dari para senior. Karena keterbatasan dana, tak ada opsi lain selain naik kapal menuju Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.

“Kami 3 hari naik kapal, tidur beralaskan tikar. Itu kapal Pelni, kapal tua tapi masih cukup layaklah,” ujar manajer tim Maluku, A’Juni, di Solo Sport Climbing Center, kompleks Stadion Manahan, Solo, Jawa Tengah, Jumat (30/11).

Bagi mereka, pantang melewatkan hari tanpa latihan. Maka para atlet muda itu memanfaatkan tangga di kapal untuk pull up sekaligus latihan speed track. Tak peduli jadi bahan tontonan orang, yang penting bisa bertanding maksimal.

Setelah kapal bersandar di Surabaya, tim beristirahat di Mapala Pasung Universitas Sunan Giri, sebelum melanjutkan perjalanan menuju Solo dengan bus. Strategi ini penting untuk memangkas biaya penginapan.

Hal serupa juga mereka terapkan di Solo. Tim dengan fisik kuat tapi minim dana ini menginap di Malimpa, Mapala Universitas Muhammadiyah Solo. Mereka tak perlu bayar, hanya butuh menyiapkan makan sendiri.

Setibanya di Solo Sport Climbing Center, para atlet kaget melihat bentuk poin di dinding lead dan boulder. Karakteristik poin berbentuk volume yang besar-besar sangat berbeda dengan tempat mereka biasa latihan.

“Di Maluku kita latihan masih pakai poin kecil, yang (cara memegangnya) full, itu kekurangan kita. Kalau power kita memang dapat,” ujar salah satu atlet, Rusti Sumalean (24).

Akibat karakter poin yang berbeda, beberapa atlet perempuan sempat cedera. “Yang cewek-cewek lagi istirahat karena ototnya pada ketarik semua habis manjat boulder. Mereka belum terbiasa dengan poin volume,” imbuh A’Juni.

Atlet Maluku latihan rutin

Dunia panjat tebing memang terus berkembang. Di level internasional, karakter poin kecil sudah ditinggalkan. Perkembangan ini diikuti oleh semua negara yang aktif di olahraga panjat tebing. Sayangnya para atlet Maluku tidak mendapat fasilitas latihan yang memadai, bahkan lebih mirisnya lagi mereka tidak punya tempat latihan.

“Latihannya numpang di wall-wall Mapala kampus-kampus di Maluku. Salah satunya di Mahipala IAIN Ambon dan di Universitas Pattimura Ambon,” kata Rusti.

Pelatih mereka juga dari Mapala. Sayangnya fasilitas panjat tebing Mapala di Maluku juga masih kurang memadai. Rata-rata mereka hanya punya dinding lead, tanpa speed dan boulder.

“Ada boulder tapi hanya satu papan tingginya,” ujar Rusti.

Jadi Alat Pemersatu Konflik

FPTI Maluku sebetulnya pernah punya dinding panjat, namun hangus terbakar saat konflik Ambon. Setelah sekitar 12 tahun berlalu, mereka membangun kembali FPTI. Tiga tahun yang lalu, FPTI Pengada Maluku kembali aktif. Panjat tebing tak sekadar olahraga, tapi juga jadi alat pemersatu usai konflik.

Di tahun pertama mereka fokus pada pembenahan internal, kemudian tahun kedua mulai mengikuti berbagai kejuaraan daerah. Meski persiapan minim dan terbatas, mereka berhasil meraih medali dalam beberapa kejuaraan.

“Kejuaraan pertama saya akhir tahun 2015, cuma bisa pasang 1 runner. Terus 2016 saya ikut lagi, dapat juara 2,” ujar atlet lainnya, Sutrisno Sulaiman (21).

Sayangnya pada pertandingan hari ini, Jumat (30/11), Sutrisno kalah sebelum bertanding. Dia didiskualifikasi karena terlambat 5 menit saat hendak mengikuti kualifikasi boulder.

Jadwal pertandingan hari ini memang lebih pagi dari biasanya, yakni pukul 06.00 WIB, karena pertandingan sebelumnya tertunda akibat cuaca buruk. Terlebih lagi basecamp Malimpa, tempat mereka menginap, agak jauh dari venue pertandingan.

Meski demikian keterlambatan ini tak membuat Sutrisno patah arang. Ia berusaha menampilkan yang terbaik pada pertandingan esok hari, yakni nomor speed klasik.

A’Juni menyebut, pihaknya tak memberikan target khusus kepada para atlet. Fokus mereka saat ini adalah menambah jam terbang. Lebih bagus lagi jika pemerintah setempat membuka mata, menyadari betapa besar semangat atlet-atlet Maluku meraih prestasi, meski dengan segala keterbatasan.

Ale, Maluku!