Media

Alasan Mengapa Nomor Combine yang Dipertandingkan di Olimpiade Tokyo

Memasuki tahun 2019, Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) semakin fokus mencari bibit-bibit unggul di nomor combine. Bukan tanpa alasan, mengingat pada Olimpiade Tokyo 2020 cabor panjat tebing alias sport climbing hanya diberi slot untuk memainkan 2 nomor yakni combine putra dan putri.

Combine adalah nomor baru yang diciptakan khusus untuk Olimpiade Tokyo 2020. Nomor ini menggabungkan 3 nomor utama di olahraga panjat tebing yang sangat berbeda karakternya yakni speeed, lead, dan boulder. Artinya masing-masing atlet harus memainkan ketiga nomor tersebut, dan untuk meraih juara dia harus menjadi yang terbaik di ketiganya.

Bukan perkara mudah tentu saja. Mengingat karaktristik otot para atlet yang menguasai ketiga nomor tersebut berbeda-beda. Tengok saja para juara dunia panjat tebing, tak ada yang menguasai ketiga nomor tersebut sekaligus. Pasti hanya salah satunya.

Lantas mengapa harus combine yang dipertandingkan di Olimpiade? Ketua II PP FPTI Pristiawan Buntoro menjelaskan duduk perkaranya.

“Jadi perjuangan untuk memasukkan sport climbing di olimpiade sudah dilakukan sejak Olimpiade Beijing 2008,” ujar Pris membuka percakapan.

Kala itu sport climbing berada di bawah naungan International Climbing Competition (ICC) yang merupakan salah satu divisi di UIAA (Union Internationale des Associations d’Alpinisme) atau dalam bahasa Inggris adalah International Climbing and Mountaineering Federation.

Momen pengajuan sport climbing di Olimpiade Beijing sebetulnya sangat bagus mengingat kala itu China sudah sangat siap. Sayangnya kala itu gagal.

Kegagalan itu dibebankan ke UIAA yang dianggap tidak serius memperjuangkan sport climbing masuk olimpiade. Akhirnya dalam general assembly UIAA muncul 2 desakan, yakni menggulingkan presiden UIAA, dan pemisahan diri divisi sport climbing (ICC) dari organisasi tersebut.

Kedua desakan itu terwujud dan muncullah International Federation of Sport Climbing (IFSC) yang menggantikan ICC. Organisasi ini mendapat amanah besar untuk memperjuangkan olahraga panjat tebing masuk di olimpiade.

“Kemudian IFSC secara intens berjuang. Di Olimpiade London gagal walaupun sudah masuk nominasi. Kemudian Olimpiade Rio gagal lagi karena tuan rumah ngaruh juga,” kata Pris.

Barulah saat menuju Olimpiade Tokyo 2020, sport climbing berhasil masuk bersama karate dan beberapa cabor lain. Sayangnya International Olympic Committee (IOC) hanya memberikan slot 2 medali untuk sport climbing.

“Mau enggak mau (slot hanya 2 medali) diterima oleh IFSC karena sudah berkali-kali berjuang selalu gagal,” kata Pris.

Saat itu IFSC bingung bagaimana mengakomodir pemanjat speed, lead, dan boulder. Mengingat ketiga nomor itu dikuasai benua yang berbeda, seperti lead dikuasai Eropa, boulder Eropa-Asia, sedangkan speed Asia, Eropa Timur, dan Afrika.

“Dengan hanya 2 medali itu akhirnya IFSC bikin combine,” tutur Pris.

 

Mulai Dipertandingkan

Tak lama setelah diputuskan masuk Olimpiade Tokyo, nomor combine langsung diuji coba di Asian Youth Championship di Singapura pada 2017 lalu.

Selanjutnya di setiap kompetisi panjat tebing internasional, nomor combine selalu diikutkan. Termasuk di Youth Olympics di Buenos Aires, Argentina, pada Oktober 2018, nomor combine juga dimainkan.

 

Bukan Hal Baru di Indonesia

Meski baru dikenal di kalangan internasional, nomor combine justru bukan hal baru di Indonesia, khususnya bagi atlet Bali. Sejak Porprov Bali 2006/2007 nomor combine sudah dipertandingkan dengan nama trilomba.

Sedangkan dalam kompetisi nasional, nomor combine mulai dipertandingkan di Kejurnas Kelompok Umur di Sawahlunto, Sumatera Barat, 2017. Dari Kejurnas KU tersebut kemudian terpilih sejumlah atlet yang diikutkan ke Asian Youth Championship di Singapura.

Setelah itu nomor combine selalu diikutkan dalam setiap kompetisi baik nasional maupun regional.

Meski sudah pernah dipertandingkan, bukan berarti Indonesia punya modal kuat untuk berlaga di nomor combine. Sebab saat ini prestasi atlet panjat tebing Indonesia masih didominasi nomor speed.

Oleh karena itu FPTI akan mengubah strategi latihan termasuk metode penyaringan atlet Pelatnas. Nantinya akan ada 5 atlet putra dan 5 atlet putri yang terpilih di Pelatnas, yang 2 di antaranya adalah Aries Susanti Rahayu dan Aspar Jaelolo.

Kedua atlet nasional ini mendapat privilege untuk tidak mengikuti proses seleksi karena prestasi mereka sudah masuk peringkat dunia.