Cinta Mati si Bendhol
JIKA kadung cinta, apa pun akan diberikan. Tenaga, waktu, jarak, kesetiaan. Bendhol, merupakan salah satu contoh yang tepat. Kecintaannya dan kesetiannya pada olahraga panjat tebing patut diacungi jempol.
Bendhol yang memiliki nama asli Slamet Widodo ini merupakan seorang belayer asli Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Saat ini, ia aktif bergabung dalam program pemusatan latihan nasional para atlet Indonesia yang akan bertanding di Asian Games 2018.
Ia menjadi belayer yang diandalkan. Selain itu, ia menjadi tim teknis yang menyiapkan papan panjat dan pranti lainnya. Bersama tim ia harus memastikan jalur panjat yang akan digunakan pemanjat harapan bangsa itu aman.
Tak hanya menyiapkan, ia juga membereskan setelah sesi latihan selesai.
Saban hari, Bendhol rela menempuh jarak 30 km pulang pergi dari Trimulyo, Jetis, Bantul hingga venue panjat tebing kompleks Stadion Mandala Kridha, Jogjakarta. Eits, ia tidak menempuhnya menggunakan kendaraan bermotor. Ia setia menggunakan sepeda onthelnya.
“Saya setiap hari menempuh jarak 15 km (pp 30 km) naik sepeda. Punyanya itu.”
Kok mau melakukannya sampai sekarang? Hal itu dipicu kecintaannya pada panjat tebing. Di mana ada tali panjat, maka kecintaan itu tidak akan luntur.
Bendhol memang tidak menggeluti panjat untuk menjadi atlet profesional. Ia semata-mata menyenangi olahraga yang menurutnya menantang dan bermanfaat untuk mendisiplinkan diri ini.
Berawal dari kongko-kongko di Malioboro dengan teman-temannya, pria kelahiran 5 Januari 1973 ini diajak ke tempat para atlet latihan panjat tebing.
“Pokoknya, di mana ada tali, pinginnya manjat. Targetnya bukan untuk jadi atlet. Cuma untuk suka-suka aja.”
Ia tak langsung menjadi belayer. Baru ketika beranjak 2008, ia diajak oleh temannya yang bernama Pak Ambon untuk menjadi belayer pemusatan latihan daerah (Puslatda) atlet panjat tebing DIY.
Hal itu pun ia lakoni sampai sekarang. Penggemar soto ini mengaku menjadi belayer memang tidak menarik, tetapi ada kebanggaan di situ.
“Kebanggaannya, bagaimana memberikan kenyamanan dan keamanan pada atlet. Kalau atlet bisa meraih prestasi terbaik, tambah bangga lagi.”
Ya, kebanggaan itu tetap ia rasakan meskipun ia bukan pelatih ataupun si atlet yang meraih prestasi itu sendiri. Menjadi seseorang di balik layar tak membuat semangatnya luntur. Tak dikenal pun tak jadi soal. Upaya kerasnya semata-mata demi kesuksesan atlet dan tim panjat tebing.
Selama menjadi belayer, ia tak hanya tampil selama sesi latihan. Ia juga menjadi belayer dalam kompetisi resmi seperti kejuaraan nasional junior dan kejuaraan nasional senior di Jogjakarta. Selama menekuni bidang itu, ada pengalaman tak terlupakan.
“Pengalaman unik saat mau pasang point (speed) world record di SMA 3 (SMAN 3 Jogjakarta), kebetulan tali webbing di atas itu terbakar sehingga [saya] melorot ke bawah kenceng. Alhamdulillah ga sampai ke dasar (jatuh).”
Bendhol bertekad untuk terus menekuni profesinya dan mendukung kemajuan panjat tebing Indonesia itu hingga akhir hayat. “Sampai napas ini masih ada di raga ini (akan terus jadi belayer).” ***