Media

Prestasi Speed Mentereng, Coach Hendra Diundang ke China dan Jepang

Kejayaan prestasi atlet panjat tebing Indonesia di kancah internasional menyita perhatian negara lain. Selain menyorot para atlet, pelatih Timnas Panjat Tebing Indonesia Hendra Basyir juga kebanjiran pujian.

Hendra jadi rebutan China dan Jepang untuk mengisi pelatihan pelatih speed di negara masing-masing. Saat ini dia sedang berada di China untuk mengisi kursus atau pelatihan pelatih dengan dirinya sebagai pemateri utama.

“Awalnya setelah kita dapat 2 emas di worldcup, Jepang langsung minta saya ngisi pelatihan pelatih di negaranya. Enggak lama setelah itu, China juga minta, tapi waktunya duluan China,” ujar Hendra, Sabtu (2/3).

Pelatihan tersebut digelar di Sports Center of Guangzhou Higher Education Mega Center, Guangzhou, selama 10 hari, yakni tanggal 2-12 Maret 2019. Jumlah peserta 57 orang dengan rincian 46 pelatih dan 11 atlet.

Mereka adalah seluruh pelatih panjat tebing di China selain pelatih timnas. Sebab saat ini para pelatih Timnas China sedang sibuk dengan latihan semacam Pelatnas.

Hendra menyebut jadwal pelatihan sangat padat dari pukul 08.00-22.00 yang dia isi dengan materi kelas dan praktik. Selain dirinya, ada juga 6 orang profesor dan doktor bidang olahraga dari Beijing Sport University yang mengisi bidang psikologi.

“Mereka mau ngorek dari sisi keilmuan kenapa speed climbing kita keren, dan juga didatangkan profesor untuk mengisi beberapa sesi. Tapi pemateri utamanya saya selama 10 hari,” ujar pria yang akrab disapa Coach Hendra ini.

Meski mengajari pelatih negara lawan, Hendra tak mengurangi penyaluran ilmu yang ia miliki. Apa yang ia sampaikan sama dengan yang ia terapkan dan dijalankan di Timnas Panjat Tebing Indonesia. Tak ada kekhawatiran prestasi atlet speed Indonesia di kancah internasional tergeser.

“Kekhawatiran itu hanya bagi pecundang, bagi orang-orang yang tidak optimis,” tegas Hendra.

Menurutnya, justru dengan mengajari pelatih China, dia bisa belajar ilmu-ilmu yang lain. Bagi Hendra, berbagi ilmu tidak pernah ada ruginya.

“Dibanding budaya di Indonesia, mereka benar-benar mau belajar. Setiap hari kita diskusi meskipun terkendala bahasa karena mereka banyak yang tidak bisa Bahasa Inggris,” katanya.